Benang Merah Esensi
Pajak dan Zakat di Indonesia
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga
setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi
kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah faham tentang kewajiban sholat
dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan pribadi. Namun tidak demikian
pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk
keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum
muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman sholat sudah merata di kalangan
kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat.
Lebih kurang 14 abad yang lalu Allah
Swt, telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat sesuai
dengan firman –Nya dalam Al-qur’an surat At-taubah ayat 103. Zakat wajib dikeluarkan oleh kaum
muslimin yang memiliki kelebihan harta ( agnia) untuk disampaikan kepada
saudaranya yang kurang mampu sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan
Rasulullah SAW.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam,
ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah
hanya merupakan kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan
kewajiban individu terhadap perintah Allah SWT, sehingga zakat menjadi apa yang
sering disebut sebagai ibadah mahzhah individu kaum muslimin. Dari suatu ajaran
yang luas dan mendalam yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah,
zakat menjadi sebuah ajaran yang sempit bersama mundurnya peranan Islam di
panggung politik, ekonomi, ilmu, dan peradaban manusia. Dalam akhir abad kedua
puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam di berbagai sektor
kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor yang mulai digali dari
berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat Islam memberikan harapan
baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi kebangkitan ekonomi di dunia barat
khususnya yang didasari pemikiran kapitalistik telah menimbulkan berbagai
masalah dalam kehidupan ini seperti; kesenjangan dalam kehidupan sosial
ekonomi. Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki
potensi yang besar dari segi penerimaan pajak melalui zakat. Seperti diketahui
penerimaan negara didominasi oleh penerimaan dari sektor pajak, setelah sekian
lama diperankan oleh minyak dan gas. Peranan minyak dan gas tidak dapat terus
diharapkan sebagai sumber utama penerimaan negara karena keberadaannya yang
terbatas dan tidak dapat diperbaharui, membuat pemerintah harus mencari
alternatif lain yang menggali sumber penerimaan, salah satunya melalui pajak.
Seiring dengan perkembangan ekonomi, peraturan-peraturan perpajakan tentu
banyak pula yang tidak sesuai dengan tuntutan perekonomian, sehingga pemerintah
perlu untuk melakukan informasi Undang-Undang Perpajakan yang diharapkan dapat
menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang perpajakan. Selama ini
sebagian dari masyarakat, baik aparat pajak akan berusaha untuk mengenakan
pajak yang sebesar-besarnya, sedangkan wajib pajak akan berusaha untuk membayar
pajak yang sekecil-kecilnya. Seolah-olah terdapat jurang pertentangan yang
besar antara aparat pajak dengan wajib pajak Selain besaran pajak, umat Islam
Indonesia masih harus membayar zakat yang pada hakekatnya mirip dengan pajak.
Ada anggapan bahwa umat Islam di Indonesia seolah-olah terkena pengeluaran
berganda, selain membayar pajak penghaslan juga membayar zakat dari penghasilan
yang diperolehnya. Oleh karena itu untuk keadilan sudah selayaknya para
pembayar zakat yang dibayarkan ditetapkan sebagai faktor pengurang atau biaya
dalam perhitungan penghasilan kena pajak (PKP). Zakat merupakan sarana utama
dalam pendistribusian asset dan kekayaan ummat. Melalui zakat diharapkan
sumber-sumber ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada orang-orang kaya saja,
tapi juga terdistribusikan kepada para fakir miskin, sehingga mereka juga ikut
merasakan nikmatnya. Dalam Islam, zakat merupakan rukun aga ma, sedangkan dalam
perekonomian, zakat merupakan sarana terpenting dalam distribusi kesejahteraan.
Sedangkan Pajak punya konsep tersendiri, ia diatur oleh negara, bukan agama.
Aturan aturan yang ada dipajak bersifat berubah-ubah disesuaikan sepanjang
kebutuhan. Oleh karena itu pemerintah menerbikan Undang-Undang No 38 tahun 1999
tentang pengelolaan zakat. Hal ini dapat dipandang sebagai setapak lebih maju
didalam mengartikulasikan keinginan umat Islam Indonesia. Undang-Undang ini
merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap umat Islam dalam
membayar pajak. Dalam UU tersebut memuat konsepkonsep manajerial yang
profesional terhadap pelaksanaan zakat di Indonesia. Dengan hitungan
kuantitatif umat Islam yang sangat besar, potensi zakat sebagai pengerak
ekonomi nasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Selain itu dapat dikatakan
bahwa ini merupakan kali pertama dalam sejarah, pemerintah mengatur kaitan
antara zakat yang dibayarkan masyarakat sebagai pelaksanaan kewajiban beragama
dengan pajak yang dibayarkan kepada negara yang merupakan kewajiban kenegaraan
bagi setiap warga negara. Pengelolaan zakat secara sistematis dan teratur
berdasarkan ketentuan sebenarnya bisa menjadi salah satu komponen pengurang pajak
penghasilan (PPh). Untuk menyempurnakan UU No. 38/1999, Pemerintah kemudian
menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dimana
mulai tahun 2001 para pembayar zakat penghasilan (zakat maal) sudah dapat
menjadikan jumlah zakat yang dibayar sebagai faktor pengurang atau biaya atas
Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Pajak Penghasilan. Pemerintah secara tidak
langsung menghargai zakat sebagai salah satu kewajiban (rukun) bagi yang
beragama Islam untuk mendorong sekaligus mengingatkan bahwa zakat adalah suatu
kewajiban yang sama dengan pajak. Terbitnya UU No. 17 Tahun 2000 memang
melegakan umat Islam karena zakat diakui sebagai faktor pengurang pajak
penghasilan. Namun masalah lain muncul, yaitu belum adanya bukti standar pembayaran
zakat pada beberapa lembaga Islam. Dapat saja oknum wajib pajak membayar
minimal di lembaga zakat dan membuat laporan fiktif yang menyebutkan pembayaran
zakat yang lebih besar, sehingga pajak yang dibayarkan kepada negara menjadi
berkurang. Oleh karena itu perlu adanya standarisasi misalnya pemberian Nomor
Pokok Wajib Zakat berdampingan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak. Namun pada
dasarnya hal ini tidak akan terjadi jika masyarakat memahami dengan betul
fungsi pajak dan fungsi zakat. Jika hal ini dipahami dengan benar, maka
pembayaran zakat dapat dikurangkan sebagai pengurang pajak peghasilan.
Solusi
zakat dan pajak bagi Indonesia kedepan adalah membuat zakat dan pajak sebagai
satu kesatuan bukan sebagai yang terpisahkan karena jika zakat jika dibarengkan
dengan pajak maka akan terjadi pembayaran ganda yang dilakukan oleh umat islam.
Masdar F.
Mas’udi menyampaikan idenya mengenai konsep zakat sebagai pajak. Menurutnya,
selama ini ada kesalahpahaman dari umat Islam mengenai konsep zakat dan pajak
yang dianggap sebagai dua hal yang berbeda; zakat dianggap sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan Tuhan dan tak berkaitan dengan negara, sementara pajak
dianggap sebagai sesuatu yang dipaksakan oleh kekuasaan kepada rakyatnya
sebagia sebuah “upeti” yang wajib diserahkan.
Jika pajak dipisahkan dengan zakat
maka dapat di katakana bahwa Indonesia adalah negara sekuler karena menempatkan
Agama (masalah pajak ) sebagai sesuatu yang terpisah dengan
negara. Penguasa (dalam segala bentuknya seperti kerajaan, negara, dsb.) punya
kekuasaan menentukan tarif pajak dengan seenaknya sendiri, sementara Tuhan
hanya bisa mengutip 2,5% zakat dari masyarakat. Sayangnya kutipan terhadap
pajak yang diperuntukan bagi Tuhan inipun harus nebeng ke penyelenggara negara.
“Jadi Tuhan harus memelas kepada negara untuk mengutip pajak”, Katanya.
Dalam konsep
Islam, pajak tidak bisa dipisahkan dari zakat. Pajak pada hakikatnya adalah
zakat yang wajib dibayarkan oleh umat yang mampu kepada negara untuk mengatasi
problem-problem sosial seperti kemiskinan (masakin), fakir-cacad (faqir),
pengungsi (ibnu sabil), pendidikan dan perjuangan (sabilillah)
dan sebagainya. Dalam hal ini, negara (dalam segala bentuknya) punya esensi
fungsi sebagai amil yang juga punya hak untuk mendapatkan bagian zakat
(pajak) tersebut, tetapi dalam batas yang tidak boleh berlebihan. , konsekuensi dari konsep ini adalah
bahwa substansi terbentuknya sebuah negara adalah sebagai ‘amil zakat (penitia
zakat) yang tidak punya hak untuk menyelenggarakan bisnis apapun. Inilah konsep
negara Islam sesungguhnya. Islam tidak pernah menentukan sebuah bentuk
negara apakah itu kerajaan, kebangsaan, persemakmuran, atapun lainnya; akan
tetapi Islam memberikan tekanan pada peran negara sebagai institusi
penyelenggara sosial. Negara tidak boleh menyelenggarakan bisnis, karena pasti
akan selalu menang. Yang berhak berbisnis adalah rakyat, dan negara adalah yang
mengatur rakyat yang melakukan aktifitas ekonomi tersebut
Kini kaum muslimin dihadapkan pada
kewajiban membayar pajak yang harus disetor kepada negara. Pajak adalah
pungutan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat yang memiliki kelebihan
harta untuk membiayai pembangunan bagi kepentingan umum (masyarakat).Jika
dikaji lebih dalam, sebenarnya dalam
beberapa hal zakat dan pajak memiliki beberapa kesamaan, misalnya zakat
dan pajak dipungut dari orang yang memilki kelebihan harta (agnia),
memiliki ketetapan waktu pembayaran (haul/ tahunan) , memiliki batas
jumlah yang dibebaskan untuk membayar ( PTKP/ nishab), memiliki
sistem pemungutan yang sama ( Self Assessment System), dari sekian
banyak persamaan zakat dan pajak, hanya sedikit perbedaan, antara lain; Zakat
berdasarkan Al-qur’an dan sunah Rasullah SAW sedangkan pajak berdasarkan UU
Perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah, tujuan pengeluaran zakat lebih jelas penerimanya ( Ashnaf) sedangkan
pajak dikelola oleh negara ( belum ada penegasan penerimanya) karena
melalui hasil pembangunan. Perbedaan ini yang sebenarnya menjadikan konflik
bathin kaum muslimin, apakah harus membayar zakat atau pajak lebih
dahulu. Akhirnya banyak kaum muslimin membayar pajak lantaran takut akan sanksi
Kebingungan kaum muslimin dalam
melaksanakan kewajiban zakat dan pajak sebenarnya telah ada jalan keluar
yang baik, yaitu jika kita telaah UU Perpajakan no. 17 tahun 2000 tetntang
Pajak penghasilan pasal 6, telah ditetapkan bahwa zakat yang dibayar kaum
muslimin dapat dikurangkan pada saat pembayaran pajak.Jadi
berdasarkan hal tersebut akhirnya kaum muslimin di Indonesia sebenarnya
dapat melaksanakan pembayaran zakat dan pajak, bahkan zakat dapat dibayar
lebih dahulu, setelah itu baru pajak. Kini saatnya umat Islam Indonesia tinggal
mengupayakan Pemerintah dan Badan Amil Zakat (BAZ) yang amanah, agar zakat dan
pajak yang dibayar umat dapat dikelola dan digunakan untuk kemakmuran umat.
Pajak di Indonesia merupakan kewajiban
bagi setiap warga negara, sedangkan zakat adalah kewajiban seorang muslim dalam
menunaikan ajaran Islam sebagai pemeluk agama yang taat. Dalam karut-marut
pengelolaan pajak di negara ini-terlebih setelah terbongkarnya jaringan mafia
pajak Gayus Tambunan-dapat ditebak, semakin menambah deretan orang yang merasa
'terpaksa'membayar pajak. Melihat situasi runyam seperti ini, ada baiknya kita
pertimbangkan kewajiban membayar pajak diganti dengan membayar zakat yang
pengelolaannya perlu ditata lebih profesional lagi. Dengan demikian, umat Islam
yang merupakan mayoritas di negara ini diwajibkan membayar zakat, sedangkan
bagi nonmuslim digunakan istilah pajak. Keberadaan zakat dalam Islam diperuntukkan
benar-benar untuk kesejahteraan orang banyak dengan pertama dan utamanya
diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan.Setelah itu, barulah dapat digunakan
untuk kebutuhan sekunder seperti pembangunan sarana prasarana seperti
pembangunan jalan, jembatan dan sarana prasarana lainnya. Hasil pajak sejauh
ini didengungkan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi penggunaannya tidak khusus
bagi pengentasan kemiskinan yang merupakan masalah primer. Pengelolaan zakat
mulai dari penerimaan dan pemanfaatannya haruslah dilaporkan secara transparan
dan terbuka, sehingga wajib zakat dapat mengakses laporan yang dibuat badan
amil zakat (pengelola zakat resmi). Wajib zakat akan sepenuh hati
melaksanakannya sebagai warga negara yang baik dan umat beragama yang taat
(kesalehan sosial) karena jelas merupakan tuntunan agama dalam meraih kehidupan
dunia dan akhirat.
Gagasan pemanfaatan zakat sebagai salah
satu pilar pembangunan ekonomi umat ini esensinya tidak jauh berbeda dengan
konsep ekonomi syariah yang telah lebih dulu berkiprah secara resmi di negara
ini dengan bantuan signifikan dari pemerintah. Ekonomi syariah telah
menghasilkan sejumlah produk perbankan, asuransi, hingga bursa saham yang
berdasarkan pada acuan agama. Perkembangan ekonomi yang berlandaskan
nilai-nilai agama (Islam) itu demikian pesat dan menjanjikan seiring dengan
peningkatan kesadaran umat Islam dalam mematuhi tuntunan nilai-nilai syariah
Islam.Mencermati berbagai situasi dan kondisi yang dipaparkan di atas,
selayaknya pemerintah dapat memanfaatkan momen ini dengan mengoptimalkan
penerimaan negara dari sektor zakat yang merupakan kewajiban umat Islam dalam
rukun Islam sebagaimana salat dan puasa. Tentunya pendayagunaan zakat ini perlu
ditindaklanjuti secara lebih serius oleh penyelenggara negara dan atau pihak terkait
sebagai upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan konsep
yang lebih sistemik.
Kesimpulan yanag
dapat diambil adalah jika umat islam di indonesia ini menjalankan agamanya
dengan sebenar-benarnya dan menerapkan sistem syariah yang tidak bersisian
dengan negara maka besar kemungkinan negara ini lebih maju seperti halnya
negara-negara islam yang maju didunia ini. Karena tidak ada pembayaran ganda
yang akhirnya menyebabkan kezaliman pada masyarakat muslim itu sendiri. Dan
benang merah atau masalah yang dihadapi muslim indonenesia adalah membedakan
pajak dan zakat itu sendiri, mana yang harus di dahulukan dan mana yang harus
lebih diutamakan
"Remembering Tugas Mata Kuliah Ibadah dan Akhlak "
"Di poskan di Perpus UII"
Qitty Cathright