Rabu, 13 Februari 2013

Zakat


Benang Merah Esensi Pajak dan Zakat di Indonesia 


Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin. Bila saat ini kaum muslimin sudah faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan pribadi. Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial. Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas, kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut. Pemahaman sholat sudah merata di kalangan kaum muslimin, namun belum demikian terhadap zakat. 

Lebih kurang 14 abad  yang lalu Allah Swt, telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat sesuai dengan firman –Nya dalam Al-qur’an surat At-taubah ayat 103. Zakat wajib dikeluarkan oleh kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta ( agnia) untuk disampaikan kepada saudaranya yang kurang mampu  sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan Rasulullah SAW.

Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam, ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah SWT, sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai ibadah mahzhah individu kaum muslimin. Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah, zakat menjadi sebuah ajaran yang sempit bersama mundurnya peranan Islam di panggung politik, ekonomi, ilmu, dan peradaban manusia. Dalam akhir abad kedua puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam di berbagai sektor kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor yang mulai digali dari berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat Islam memberikan harapan baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi kebangkitan ekonomi di dunia barat khususnya yang didasari pemikiran kapitalistik telah menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan ini seperti; kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi. Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki potensi yang besar dari segi penerimaan pajak melalui zakat. Seperti diketahui penerimaan negara didominasi oleh penerimaan dari sektor pajak, setelah sekian lama diperankan oleh minyak dan gas. Peranan minyak dan gas tidak dapat terus diharapkan sebagai sumber utama penerimaan negara karena keberadaannya yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui, membuat pemerintah harus mencari alternatif lain yang menggali sumber penerimaan, salah satunya melalui pajak. Seiring dengan perkembangan ekonomi, peraturan-peraturan perpajakan tentu banyak pula yang tidak sesuai dengan tuntutan perekonomian, sehingga pemerintah perlu untuk melakukan informasi Undang-Undang Perpajakan yang diharapkan dapat menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang perpajakan. Selama ini sebagian dari masyarakat, baik aparat pajak akan berusaha untuk mengenakan pajak yang sebesar-besarnya, sedangkan wajib pajak akan berusaha untuk membayar pajak yang sekecil-kecilnya. Seolah-olah terdapat jurang pertentangan yang besar antara aparat pajak dengan wajib pajak Selain besaran pajak, umat Islam Indonesia masih harus membayar zakat yang pada hakekatnya mirip dengan pajak. Ada anggapan bahwa umat Islam di Indonesia seolah-olah terkena pengeluaran berganda, selain membayar pajak penghaslan juga membayar zakat dari penghasilan yang diperolehnya. Oleh karena itu untuk keadilan sudah selayaknya para pembayar zakat yang dibayarkan ditetapkan sebagai faktor pengurang atau biaya dalam perhitungan penghasilan kena pajak (PKP). Zakat merupakan sarana utama dalam pendistribusian asset dan kekayaan ummat. Melalui zakat diharapkan sumber-sumber ekonomi tidak hanya terkonsentrasi pada orang-orang kaya saja, tapi juga terdistribusikan kepada para fakir miskin, sehingga mereka juga ikut merasakan nikmatnya. Dalam Islam, zakat merupakan rukun aga ma, sedangkan dalam perekonomian, zakat merupakan sarana terpenting dalam distribusi kesejahteraan. Sedangkan Pajak punya konsep tersendiri, ia diatur oleh negara, bukan agama. Aturan aturan yang ada dipajak bersifat berubah-ubah disesuaikan sepanjang kebutuhan. Oleh karena itu pemerintah menerbikan Undang-Undang No 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Hal ini dapat dipandang sebagai setapak lebih maju didalam mengartikulasikan keinginan umat Islam Indonesia. Undang-Undang ini merupakan salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap umat Islam dalam membayar pajak. Dalam UU tersebut memuat konsepkonsep manajerial yang profesional terhadap pelaksanaan zakat di Indonesia. Dengan hitungan kuantitatif umat Islam yang sangat besar, potensi zakat sebagai pengerak ekonomi nasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Selain itu dapat dikatakan bahwa ini merupakan kali pertama dalam sejarah, pemerintah mengatur kaitan antara zakat yang dibayarkan masyarakat sebagai pelaksanaan kewajiban beragama dengan pajak yang dibayarkan kepada negara yang merupakan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara. Pengelolaan zakat secara sistematis dan teratur berdasarkan ketentuan sebenarnya bisa menjadi salah satu komponen pengurang pajak penghasilan (PPh). Untuk menyempurnakan UU No. 38/1999, Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dimana mulai tahun 2001 para pembayar zakat penghasilan (zakat maal) sudah dapat menjadikan jumlah zakat yang dibayar sebagai faktor pengurang atau biaya atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Pajak Penghasilan. Pemerintah secara tidak langsung menghargai zakat sebagai salah satu kewajiban (rukun) bagi yang beragama Islam untuk mendorong sekaligus mengingatkan bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang sama dengan pajak. Terbitnya UU No. 17 Tahun 2000 memang melegakan umat Islam karena zakat diakui sebagai faktor pengurang pajak penghasilan. Namun masalah lain muncul, yaitu belum adanya bukti standar pembayaran zakat pada beberapa lembaga Islam. Dapat saja oknum wajib pajak membayar minimal di lembaga zakat dan membuat laporan fiktif yang menyebutkan pembayaran zakat yang lebih besar, sehingga pajak yang dibayarkan kepada negara menjadi berkurang. Oleh karena itu perlu adanya standarisasi misalnya pemberian Nomor Pokok Wajib Zakat berdampingan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak. Namun pada dasarnya hal ini tidak akan terjadi jika masyarakat memahami dengan betul fungsi pajak dan fungsi zakat. Jika hal ini dipahami dengan benar, maka pembayaran zakat dapat dikurangkan sebagai pengurang pajak peghasilan.

Solusi zakat dan pajak bagi Indonesia kedepan adalah membuat zakat dan pajak sebagai satu kesatuan bukan sebagai yang terpisahkan karena jika zakat jika dibarengkan dengan pajak maka akan terjadi pembayaran ganda yang dilakukan oleh umat islam. Masdar F. Mas’udi menyampaikan idenya mengenai konsep zakat sebagai pajak. Menurutnya, selama ini ada kesalahpahaman dari umat Islam mengenai konsep zakat dan pajak yang dianggap sebagai dua hal yang berbeda; zakat dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan dan tak berkaitan dengan negara, sementara pajak dianggap sebagai sesuatu yang dipaksakan oleh kekuasaan kepada rakyatnya sebagia sebuah “upeti” yang wajib diserahkan.

Jika pajak dipisahkan dengan zakat maka dapat di katakana bahwa Indonesia adalah negara sekuler karena menempatkan Agama (masalah pajak ) sebagai sesuatu yang terpisah dengan negara. Penguasa (dalam segala bentuknya seperti kerajaan, negara, dsb.) punya kekuasaan menentukan tarif pajak dengan seenaknya sendiri, sementara Tuhan hanya bisa mengutip 2,5% zakat dari masyarakat. Sayangnya kutipan terhadap pajak yang diperuntukan bagi Tuhan inipun harus nebeng ke penyelenggara negara. “Jadi Tuhan harus memelas kepada negara untuk mengutip pajak”, Katanya.

Dalam konsep Islam, pajak tidak bisa dipisahkan dari zakat. Pajak pada hakikatnya adalah zakat yang wajib dibayarkan oleh umat yang mampu kepada negara untuk mengatasi problem-problem sosial seperti kemiskinan (masakin), fakir-cacad (faqir), pengungsi (ibnu sabil), pendidikan dan perjuangan (sabilillah) dan sebagainya. Dalam hal ini, negara (dalam segala bentuknya) punya esensi fungsi sebagai amil yang juga punya hak untuk mendapatkan bagian zakat (pajak) tersebut, tetapi dalam batas yang tidak boleh berlebihan. , konsekuensi dari konsep ini adalah bahwa substansi terbentuknya sebuah negara adalah sebagai ‘amil zakat (penitia zakat) yang tidak punya hak untuk menyelenggarakan bisnis apapun. Inilah konsep negara Islam sesungguhnya. Islam tidak pernah menentukan sebuah bentuk negara apakah itu kerajaan, kebangsaan, persemakmuran, atapun lainnya; akan tetapi Islam memberikan tekanan pada peran negara sebagai institusi penyelenggara sosial. Negara tidak boleh menyelenggarakan bisnis, karena pasti akan selalu menang. Yang berhak berbisnis adalah rakyat, dan negara adalah yang mengatur rakyat yang melakukan aktifitas ekonomi tersebut

Kini kaum muslimin dihadapkan pada kewajiban membayar pajak yang harus disetor kepada negara. Pajak adalah pungutan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat yang memiliki kelebihan harta untuk membiayai pembangunan  bagi kepentingan umum (masyarakat).Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya dalam beberapa hal zakat dan pajak memiliki beberapa kesamaan, misalnya  zakat dan pajak dipungut dari orang yang memilki kelebihan harta (agnia), memiliki ketetapan waktu pembayaran (haul/ tahunan) , memiliki batas jumlah yang dibebaskan untuk  membayar ( PTKP/ nishab), memiliki sistem pemungutan  yang sama ( Self Assessment System), dari sekian banyak persamaan zakat dan pajak, hanya sedikit perbedaan, antara lain; Zakat berdasarkan Al-qur’an dan sunah Rasullah SAW sedangkan pajak berdasarkan UU Perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah, tujuan pengeluaran zakat lebih jelas penerimanya ( Ashnaf) sedangkan pajak dikelola oleh negara ( belum ada penegasan penerimanya) karena melalui hasil pembangunan. Perbedaan ini yang sebenarnya menjadikan konflik bathin kaum muslimin, apakah harus membayar  zakat atau pajak lebih dahulu. Akhirnya banyak kaum muslimin membayar pajak lantaran takut akan sanksi

Kebingungan kaum muslimin dalam melaksanakan kewajiban zakat dan pajak sebenarnya telah  ada jalan keluar yang baik, yaitu jika kita telaah UU Perpajakan no. 17 tahun 2000 tetntang Pajak penghasilan pasal 6, telah ditetapkan bahwa zakat yang dibayar  kaum muslimin    dapat dikurangkan pada saat pembayaran pajak.Jadi berdasarkan hal tersebut  akhirnya kaum muslimin di Indonesia sebenarnya dapat melaksanakan pembayaran zakat dan pajak, bahkan zakat  dapat dibayar lebih dahulu, setelah itu baru pajak. Kini saatnya umat Islam Indonesia tinggal mengupayakan Pemerintah dan Badan Amil Zakat (BAZ) yang amanah, agar zakat dan pajak yang dibayar umat dapat dikelola dan digunakan untuk kemakmuran umat.

Pajak di Indonesia merupakan kewajiban bagi setiap warga negara, sedangkan zakat adalah kewajiban seorang muslim dalam menunaikan ajaran Islam sebagai pemeluk agama yang taat. Dalam karut-marut pengelolaan pajak di negara ini-terlebih setelah terbongkarnya jaringan mafia pajak Gayus Tambunan-dapat ditebak, semakin menambah deretan orang yang merasa 'terpaksa'membayar pajak. Melihat situasi runyam seperti ini, ada baiknya kita pertimbangkan kewajiban membayar pajak diganti dengan membayar zakat yang pengelolaannya perlu ditata lebih profesional lagi. Dengan demikian, umat Islam yang merupakan mayoritas di negara ini diwajibkan membayar zakat, sedangkan bagi nonmuslim digunakan istilah pajak. Keberadaan zakat dalam Islam diperuntukkan benar-benar untuk kesejahteraan orang banyak dengan pertama dan utamanya diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan.Setelah itu, barulah dapat digunakan untuk kebutuhan sekunder seperti pembangunan sarana prasarana seperti pembangunan jalan, jembatan dan sarana prasarana lainnya. Hasil pajak sejauh ini didengungkan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi penggunaannya tidak khusus bagi pengentasan kemiskinan yang merupakan masalah primer. Pengelolaan zakat mulai dari penerimaan dan pemanfaatannya haruslah dilaporkan secara transparan dan terbuka, sehingga wajib zakat dapat mengakses laporan yang dibuat badan amil zakat (pengelola zakat resmi). Wajib zakat akan sepenuh hati melaksanakannya sebagai warga negara yang baik dan umat beragama yang taat (kesalehan sosial) karena jelas merupakan tuntunan agama dalam meraih kehidupan dunia dan akhirat.

Gagasan pemanfaatan zakat sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi umat ini esensinya tidak jauh berbeda dengan konsep ekonomi syariah yang telah lebih dulu berkiprah secara resmi di negara ini dengan bantuan signifikan dari pemerintah. Ekonomi syariah telah menghasilkan sejumlah produk perbankan, asuransi, hingga bursa saham yang berdasarkan pada acuan agama. Perkembangan ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai agama (Islam) itu demikian pesat dan menjanjikan seiring dengan peningkatan kesadaran umat Islam dalam mematuhi tuntunan nilai-nilai syariah Islam.Mencermati berbagai situasi dan kondisi yang dipaparkan di atas, selayaknya pemerintah dapat memanfaatkan momen ini dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor zakat yang merupakan kewajiban umat Islam dalam rukun Islam sebagaimana salat dan puasa. Tentunya pendayagunaan zakat ini perlu ditindaklanjuti secara lebih serius oleh penyelenggara negara dan atau pihak terkait sebagai upaya mengentaskan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan konsep yang lebih sistemik.

        Kesimpulan yanag dapat diambil adalah jika umat islam di indonesia ini menjalankan agamanya dengan sebenar-benarnya dan menerapkan sistem syariah yang tidak bersisian dengan negara maka besar kemungkinan negara ini lebih maju seperti halnya negara-negara islam yang maju didunia ini. Karena tidak ada pembayaran ganda yang akhirnya menyebabkan kezaliman pada masyarakat muslim itu sendiri. Dan benang merah atau masalah yang dihadapi muslim indonenesia adalah membedakan pajak dan zakat itu sendiri, mana yang harus di dahulukan dan mana yang harus lebih diutamakan


"Remembering Tugas Mata Kuliah Ibadah dan Akhlak "
"Di poskan di Perpus UII"
Qitty Cathright

Tidak ada komentar:

Posting Komentar