Menjadi seorang yang
lahir dari keluarga awam agama, kental dengan budaya, penuh intrik keluarga dan
lain sebagainya, di takdirkan masuk pondok pesantren hingga kuliah di statistic
ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, kadang saya berharap untuk tidak
menerima takdir yang sungguh hebat ini. Di saat yang lain tumbuh dengan
nyamannya kasih saying orang tua, penuh curahan kasih seorang ibu yang tiap
saat mendampingi, ayah yang mngajari banyak hal, teman yang selalu menemani ,
uang jajan yang berlimpah, rasa rasanya tidak saya dapatkan semua itu. Hidup dengan seorang ayah yang hanya pulang
seminggu sekali, dengan gaji yang bahkan untuk sekedar makan berlauk pun tidak
bisa, seorang ibu perawat yang kadang karena lelahnya tidak ada waktu untuk
mengajari pelajaran, atau memang kaminya yang tidak pernah bertanya, uang jajan
yang mesti di tabung dikarenakan ada sesuatu hal mendadak yang mungkin terjadi,
sama sekali tidak memberikan sedikit ruang untuk bersenang-senang.
Mungkin tuhan
menakdirkan lain untuk diriku, tapi siapa yang tahan dengan kondisi yang carut
marut, dengan tekanan disana sini, tekanan untuk lulus dan segera kerja untuk
menjadi tulang punggung keluarga, dikarenakan sang ayah lebih memilih tinggal
bersama keluarga putrinya bukanlah permasalahan yang tidak sulit. Banyak hal
yang harus dikorbankan. Termasuk mengorbankan masa muda yang seharusnya penuh
warna menjadi kelabu, masa muda yang sejatinya dinikmati orang lain dengan
indahnya menjadi pupus hanya karena satu hal yaitu anak sulung.
Kalian yang hanya bisa
melihat dari sisi luarnya diriku pun tidak akan pernah menyangka kalau
kehidupanku penuh cerita yang tidak mengenakkan. Kadang ketika berfikir ingin
seperti mereka gadis gadis di luar sana yang merasakan cinta bersama para
kekasihnya, berjalan kesana kemari tanpa rasa bersalah, cobalah kalian jadi
diriku. Menjawab siapa yang menjadi wali nikah ketika tiba saatnya nanti sangat
kelu lidah ini rasanya. Adik kah ? yang sekarang masih kuliah. Kakek kah ? yang
sekarang sudah di surgaa. Atau ayah? Yang sekarang tidak tahu rimbanya . siapa
siapa ? bisa kalian menjawab siapa. Kalau ibu bisa menjadi wali, mau rasanya
melansungkan pernikahan tanpa ayah. Yang tidak pernah membiayai sekolah dan
kuliah. Sampai sampai tidak tahu anaknya makan apa. Anaknya kurang apa.
Jadi, berbahagialah
kalian yang masih mempunyai ayah dan ibu yang lengkap, yang menyayangi kalian,
yang selalu mengomeli kalian. Yang masih mengajari kepada kalian banyak hal
tanpa diminta. Karena disana letak kasih
sayangnya. Yang masih di beri uang jajan. Yang masih di telpon tanpa perlu
menelpon kesana. Yang tidak harus memikirkan ini itu, memikiran uang spp dan
lain sebagainya. Jadi sejatinya ketika kalian mengeluh hidup yang sama sekali
yang tidak kalian syukuri. Fikirkan lah orang lain yang ingin hidup sebagaimana
takdir kalian hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar