Jumat, 18 Maret 2016

Hikayat Asal Muasal Timah



Hikayat Asal Muasal Timah
(Legenda Bangka Belitung)


Pada suatu waktu, di sebuah pedalaman hutan negeri Antah Berantah. Hiduplah sepasang pasangan tua renta. Kakek dan Nenek tesebut di kenal dengan panggilan Atok dan Nek Dalang. Kehidupan di pedalaman hutan pada masa itu sangatlah sepi. Jarak dari rumah ke rumah bagai hilir ke hulu sungai. Asri dan sejuk oleh pohon pohon tinggi besar yang melingkupinya. Bersama atok dan nek dalang tinggalah seorang cucu cantik yang di tinggalkan oleh orang tuanya sedari kecil.
Cucu cantik itu bernama putri bulan. Putri bulan mewarisi kecantikan asli pribumi yang menawan nan eksotis. Tatapan matanya indah nan mampu menghancurkan tembaga. Kulitnya halus bak sutera. Tutur katanya halus dan menggetarkan. Benar benar gadis yang jelita fisik dan pekertinya. Keseharian putri bulan giat membantu atok dan nek dalang mengolah tanah leluhur bersama sebagian penduduk desan lainnya.
Tersebutlah di belahan negeri yang lain yang tengah berjaya akan hasil laut beserta batu mulia berupa permata dan mutiara. Hiduplah kakak beradik bernama bujang kalok dan bujang lanang. Kehidupan mereka bukan sebagai pelaut ataupun petani. Mereka berdua bekerja sebagai pedagang permata yang kerap berlayar jauh hingga negeri seberang.  
Pada hakekatnya mereka berdagang melanjutkan usaha ayah mereka yang telah tua dan renta. Ayah mereka merupakan saudagar kaya raya yang masyhur ke penjuru negeri. Akan tetapi ada suatu ketika di penghujung umur , sang Ayah memanggil kedua putranya. Kepada mereka berdua di wariskan masing masing sebuah kapal dan harta hingga tujuh turunan.
Naas bagi bujang kalok. Sang kakak bujang lanang merampas semua harta yang telah di wariskan ayahnya dan mengusir bujang kalok dari rumah dan negeri tersebut. Bujang lanang hanya membekali bujang kalok sebuah perahu yang hampir bocor agar adiknya tersebut tidak kembali ke negeri mereka lagi.
Bujang kalok kemudian berlayar tanpa arah dan tujuan hingga akhirnya terdampar di sebuah pulau. Pulau tersebut elok di pandang, sedap di lihat , teduh bak surga dunia. Bujang kalok berjalan ke pedalaman hutan pulau tersebut. Sesampai di pedalaman hutan tersebut bujang kalok menemukan rumah yang terang benderang oleh cahaya lampu dan memutuskan untuk bertamu dan menginap hingga keesokan harinya.
Bujang kalok segera menuju rumah tersebut dan lansung mengutarakan maksud dan tujuannya dengan santun dan lemah lembut. Atok dalang yang melihat baiknya niatan bujang tersebut lansung menerima kehadiran sekaligus memberikan pekerjaan untuk bujang kalok.
Dari hari ke hari bujang kalok bekerja dengan giat dan tekun. Sang putri bulan pun kagum dan terkesima dengan bujang kalok. Dan gayung pun bersambut. Bujang kalok juga mempunyai rasa dengan putri bulan. Akan tetapi sang kakek tidak menyetujui hubungan tersebut dikarenakan sang putri bulan telah di jodohkan oleh anak saudagar dari pulang seberang serta akan di nikahkan dengan pemuda tersebut pada purnama ke lima belas bulan depan.
Ketika tiba pada saat purnama ke lima belas tersebut. Datanglah pemuda yang ternyata bujang lanang , kakak dari bujang kalok. Putri bulan menolak mentah mentah perjodohan tersebut dan memilih kabur dengan bujang kalok.
Bujang lanang yang tidak terima sang putri bulan jatuh ke tangan bujang kalok lantas meraih pisau dan menusuk adiknya. Akan tetapi putri bulan menghadang di depan bujang kalok sehingga pisau menusuk lansung ke putri bulan.
Putri bulan pun jatuh bersimbah darah di hadapan bujang kalok dan sebelum menghembuskan nafas terakhir . sang putri memberikan bujang kalok selendang dan berpesan untuk mengibaskan selendang tersebut dimanapun air mengalir yang di temui bujang kalok.
Bujang kalok yang tak sanggup lagi menahan kesedihan atas lara yang menimpa dirinya segera bergegas pergi dari pedalaman tersebut dengan membawa selendang putri bulan dan segenap kesedihan bersamanya.
Sang bujang berjalan berhari hari dengan hati yang nestapa karena mengingat putri bulan hingga akhirnya berhenti di sungai ujung pulau tersebut . di sungai itulah bujang kalok mengibaskan selendang tersebut di aliran sungai sembari menangis tersedu sedan. Dan dengan ajaibnya aliran air yang terkena kibasan selendang tersebut membawa butiran hitam yang berharga dan hingga kini dikenal dengan sebutan butiran timah. The end 

*repost drama pondok tempo doeloe