Hikayat Asal Muasal Timah
(Legenda Bangka Belitung)
Pada suatu waktu, di sebuah pedalaman hutan negeri Antah Berantah. Hiduplah
sepasang pasangan tua renta. Kakek dan Nenek tesebut di kenal dengan panggilan
Atok dan Nek Dalang. Kehidupan di pedalaman hutan pada masa itu sangatlah sepi.
Jarak dari rumah ke rumah bagai hilir ke hulu sungai. Asri dan sejuk oleh pohon
pohon tinggi besar yang melingkupinya. Bersama atok dan nek dalang tinggalah
seorang cucu cantik yang di tinggalkan oleh orang tuanya sedari kecil.
Cucu cantik itu bernama putri bulan. Putri bulan mewarisi kecantikan asli
pribumi yang menawan nan eksotis. Tatapan matanya indah nan mampu menghancurkan
tembaga. Kulitnya halus bak sutera. Tutur katanya halus dan menggetarkan. Benar
benar gadis yang jelita fisik dan pekertinya. Keseharian putri bulan giat
membantu atok dan nek dalang mengolah tanah leluhur bersama sebagian penduduk
desan lainnya.
Tersebutlah di belahan negeri yang lain yang tengah berjaya akan hasil laut
beserta batu mulia berupa permata dan mutiara. Hiduplah kakak beradik bernama
bujang kalok dan bujang lanang. Kehidupan mereka bukan sebagai pelaut ataupun
petani. Mereka berdua bekerja sebagai pedagang permata yang kerap berlayar jauh
hingga negeri seberang.
Pada hakekatnya mereka berdagang melanjutkan usaha ayah mereka yang telah
tua dan renta. Ayah mereka merupakan saudagar kaya raya yang masyhur ke penjuru
negeri. Akan tetapi ada suatu ketika di penghujung umur , sang Ayah memanggil
kedua putranya. Kepada mereka berdua di wariskan masing masing sebuah kapal dan
harta hingga tujuh turunan.
Naas bagi bujang kalok. Sang kakak bujang lanang merampas semua harta yang
telah di wariskan ayahnya dan mengusir bujang kalok dari rumah dan negeri
tersebut. Bujang lanang hanya membekali bujang kalok sebuah perahu yang hampir
bocor agar adiknya tersebut tidak kembali ke negeri mereka lagi.
Bujang kalok kemudian berlayar tanpa arah dan tujuan hingga akhirnya
terdampar di sebuah pulau. Pulau tersebut elok di pandang, sedap di lihat ,
teduh bak surga dunia. Bujang kalok berjalan ke pedalaman hutan pulau tersebut.
Sesampai di pedalaman hutan tersebut bujang kalok menemukan rumah yang terang
benderang oleh cahaya lampu dan memutuskan untuk bertamu dan menginap hingga
keesokan harinya.
Bujang kalok segera menuju rumah tersebut dan lansung mengutarakan maksud
dan tujuannya dengan santun dan lemah lembut. Atok dalang yang melihat baiknya
niatan bujang tersebut lansung menerima kehadiran sekaligus memberikan
pekerjaan untuk bujang kalok.
Dari hari ke hari
bujang kalok bekerja dengan giat dan tekun. Sang putri bulan pun kagum dan
terkesima dengan bujang kalok. Dan gayung pun bersambut. Bujang kalok juga
mempunyai rasa dengan putri bulan. Akan tetapi sang kakek tidak menyetujui
hubungan tersebut dikarenakan sang putri bulan telah di jodohkan oleh anak saudagar
dari pulang seberang serta akan di nikahkan dengan pemuda tersebut pada purnama
ke lima belas bulan depan.
Ketika tiba pada saat
purnama ke lima belas tersebut. Datanglah pemuda yang ternyata bujang lanang ,
kakak dari bujang kalok. Putri bulan menolak mentah mentah perjodohan tersebut
dan memilih kabur dengan bujang kalok.
Bujang lanang yang
tidak terima sang putri bulan jatuh ke tangan bujang kalok lantas meraih pisau
dan menusuk adiknya. Akan tetapi putri bulan menghadang di depan bujang kalok
sehingga pisau menusuk lansung ke putri bulan.
Putri bulan pun jatuh
bersimbah darah di hadapan bujang kalok dan sebelum menghembuskan nafas
terakhir . sang putri memberikan bujang kalok selendang dan berpesan untuk
mengibaskan selendang tersebut dimanapun air mengalir yang di temui bujang
kalok.
Bujang kalok yang tak
sanggup lagi menahan kesedihan atas lara yang menimpa dirinya segera bergegas
pergi dari pedalaman tersebut dengan membawa selendang putri bulan dan segenap
kesedihan bersamanya.
Sang bujang berjalan
berhari hari dengan hati yang nestapa karena mengingat putri bulan hingga
akhirnya berhenti di sungai ujung pulau tersebut . di sungai itulah bujang
kalok mengibaskan selendang tersebut di aliran sungai sembari menangis tersedu
sedan. Dan dengan ajaibnya aliran air yang terkena kibasan selendang tersebut
membawa butiran hitam yang berharga dan hingga kini dikenal dengan sebutan
butiran timah. The end
*repost drama pondok tempo doeloe
*repost drama pondok tempo doeloe